Senin, 13 Oktober 2025

FLASH FICTION

Bocah superhero

Imbas seringnya menonton film-film superhero, anakku yang masih TK terus-terusan minta dibelikan ini itu yang berbau superhero. Baru tiga hari lalu, ia kubelikan kaos iron man yang bisa menyala dalam gelap. Pagi tadi minta dibelikan lagi miniatur musuhnya batman. Mau ditaruh di kamar mandi katanya. Kalau dia kesal, akan dikencinginya miniatur itu. 

Sekarang sudah lewat tengah malam. Ia mengigau. Minta dibelikan celana dalam superman untuk bapak. "Bapak itu nggak pernah pake celana dalam kalau di rumah", ocehnya dalam tidur.

Senin, 18 Februari 2019

Puisi Pendek


Menu Menjelang Siang

Potongan seledri dalam kuah soto
Sepotong kenangan dalam foto
Mimpi semalam dalam tato

April, 2018



Semadi

Pundakku bukit-bukti batu
Sesekali longsor
Dan menjegal  langkahmu

Kepalaku gua batu
Tempatmu menyelinap
Membaca mantra dan bersiap

April, 2018


Selimut Tua

Rebah di sana
Tua dan kisut pipinya
Menggambari selimut
Menguar pesing pipis
Bersarang pada sudut-sudut
Ruam jiwa

Renta di sana
Satu persatu napas
Diambil-Nya dengan tega
Selimut tua jadi saksi
Dalam kebisuan

April, 2018


Ritual Dewa Tidur

Satu domba
Dua domba
Tiga domba
Domba empat
Anak kambing mirip domba
Domba dikebiri
Mata kanan mata kiri
Merapat

April, 2018

HAIKU


Haiku 1

Mata terbuka
Mataharinya melotot
Tidur lagi ah



Haiku 2

Jam dua belas
Matahari menggantung
Ketiak basah



Haiku 3

Hujan menepi
Katak-katak pun murung
Temaram semu



Haiku 4

Angin berbagi
Kaki saling mendekap
Jam dinding beku



Haiku 5

Semak menggigil
Wanita menyingkap rok
Mari minum teh



Haiku 6

Tik tok jam dinding
Tertiup angin pagi
Cicak bergeming



Haiku 7

Hujan tertunda
Kaktus berjarum-jarum
Menancap dada



Haiku 8

Angin beringsut
Cicak di balik bingkai
Mengumpat malam



Haiku 9

Bumi berkabut
Anak menggigit kaktus
Di pinggir Gaza



2017

Puisi Pendek


Malam Pertama


Anak kelelawar
Menyusu pada induknya

Bulan menggantung antara dua jendela
Sepasang kekasih beradu mata
Jantung tergagap dalam dada

2017



Malam Kedua

Sepeninggal kekasih
Derap langkahnya
Tertinggal pada nadi


April, 2018




Pesta Cahaya

Seekor cicak
Bercinta dengan laron
Sebelum melumatnya

Desember, 2017



Anak Kecil

Anak kecil
Mengadu pada langit
Pensil di sela jemari
Induk kumbang
Menyusun kata-kata


April, 2018



Pagi

Dengung angin
Suara-suara penggorengan
Embun di tunas palem
Rengek bayi menggigil

April, 2018





Puisi


Suatu Pagi 

I               Suatu pagi kudapati ibu tengadah
                Pada langit merah di ujung monas
                Di ujung pandangnya:    surga menganga


                 Di tubuhmu, ibu
                Pasang surut air laut menyapu dosamu
                Debur ombak menghantam-hantam dadamu
                Air matamu merupa gelombang
                Membuncah lautan
                Menjejal karang
                Menyapu kota-kota


                 Di matamu gedung-gedung menembus langit
                Halaman rumahmu
                Mewujud hotel-hotel mengangkasa
                Menghalang pandangmu pada bulan
                Bulan sabitkah atau purnamakah sekarang?
                Ibu kelu
                Di ujung matamu:    surga lenyap


 II             Suatu pagi kudapati ibu telah mati
                Patung-patung mewah mencuat melalui matanya
                Asap pabrik mengepul dari lubang hidungnya
                Limbah meleleh di lubang kupingnya
                Gedung parlemen mengakar di kakinya
                Hotel berbintang menembus pusarmu, ibu
                Mulutmu menganga:    nerakalah surga


                 Di kedalaman mulutmu, ibu
                Kau pernah bercerita
                Para anak membunuh bapaknya
                Anak lelaki meniduri ibunya
                Anak perempuan bunting sebelum akadnya


                 Suatu pagi, ibu
                Kubenamkan sangkurku di lambungmu


 Tanjungkarang, September 2017







Ihwal Aku dan Waktu


Aku embun di landai daun-daun mungil
Yang aus diterpa mentari
Lalu lenyap bak uap
Membumbung pada lanskap

Esok aku
Tetesan hujan dari genting-genting rumah
Yang jatuh satu-dua
Lalu lesap pada tanah

Esoknya lagi aku
Titik-titik air mata
Pada pipi dan dagumu
Yang resap
Dalam pori-pori jiwamu

Lalu setahun lagi aku
Dan selamanya aku
Menjelma cinta
Yang terus mengalir

April, 2018







Penghuni Surga
Oleh Silvia Damayanti

Siapa mendamba matahari baru?
Kelopak mata akan berhenti mengatup
Matanya tak akan lelah menatapi pelangi
Hidupnya juga bakal sentosa
Kurma dan anggur akan berbuah dua belas kali tiap bulannya
Karena khuldi tak terdapat di surga

Siapa mendamba hidup tanpa bulan?
Jangan kau cari pedagang lampu
Karena malam dan siang sebentar lagi pensiun
Tak ada terik membakar kulit
Juga gulita yang menjegal pandang

Seberapa pantas kita menuju surga
Dan tinggal bersama mereka yang terdaftar dalam buku kehidupan
Lalu orang-orang yang tak terhitung jumlahnya
Berteriak jauh di bawah kakimu
“Aku mau hidup kekal!” beberapa saat sebelum lautan belerang
Dengan api menyala merenggutnya pada kematian kedua

Seberapa pantas kita mendaki tuhan
Mendamba hidup tanpa perkabungan, ratap tangis, dan kertak gigi
Seperti ada tertulis:
Biji sesawi yang kau tabur di bumi
Berkembang beranak di surga

Bandarlampung, September 2019








Pada Sebuah Amsal
Oleh Silvia Damayanti

Seorang raja menasihati anak-anaknya
Saban malam saat bulan siap berjaga pada jam kerjanya
Dengan penuh cinta ia menularkan kasih tuhan
Juga harapan agar anak-anaknya tidak cemar dalam dosa
Anak-anak harus membawa cinta kasih
Mengalungkan pada lehernya

Ajaran ibu adalah rangkaian mawar yang selalu segar
Ikatkanlah saja pada kepala
Hormatilah ia, tapi jangan kau cumbu dia
Jika suatu hari anak-anak bermain dengan sebayanya
Bermainlah dengan kejujuran
Bawakan mereka hatimu
Tapi jangan kau bawa pulang usus mereka

Bergaullah dengan wanita bijak
Tangan kanannya adalah pedang penghunus kepicikan
Tangan kirinya tombak penembus kefasikan
Jangan sekali pun jatuh di bawah kaki perempuan jalang
Karena di kakinya tak terdapat surga
Mereka membawa ular pada lidahnya
Benih-benih iblis pada rahimnya
Mereka adalah jalan menuju dunia orang mati
Peliharalah perintahku dalam hatimu
Sebab kebaikanmu di bumi akan bertunas di ladang tuhan

Demikianlah raja menasihati anak-anaknya yang tuli

Tanjungkarang
Desember, 2019









Kembang Senja di Pinggiran East Gippsland
Oleh Silvia Damayanti

Setangkai mawar
Mendongak pada langit
Yang enggan hujan

Setangkai mawar
Kuning memerah manja
Serupa senja

Setangkai mawar
Baunya mengudara
Duri di dada

Di pinggiran East Gippsland,
Mawar merah menghitam
Duri-duri menusuk jiwa
Membunuh harapan

Kelopak-kelopak mawar berguguran
Di lahan gosong
Induk-induk domba kehilangan bulunya
Sekawanan elang menangis
Mengibas kelompok awan
Terbang limbung
Mengantarkan nyawa ke depan pintu surga

Januari, 2020
















               


Senin, 21 Januari 2019

Naskah Drama


LAKON











EMBUN DI PUCUK ASOKA
(Drama Satu Babak)





AKTOR:
1.       SARI (Istri Usman)
2.       USMAN (Suami Sari)
3.       NURMA (Anak Sari)
4.       AJO (Tetangga/Teman Usman)
5.       MELI (Tukang Kredit)



                                    






                                                                                                                                  
SET PANGGUNG:
WARUNG UDUK LONTONG SAYUR  DI DEPAN RUMAH. DINDING DEPAN RUMAH (JENDELA KAMAR – JENDELA DEPAN – PINTU RUANG TAMU) SEDERHANA. MEJA DAN KURSI PLASTIK TEMPAT MAKAN UDUK. ETALASE MAKANAN DI ATAS MEJA.
                                                                                                                                                                      




ADEGAN:

SARI TAMPAK SIBUK MENYUSUN MAKANAN DAGANGANNYA. WAJAH KHAWATIR, SESEKALI MENATAP KE JALAN. GELISAH. MEJA DAN KURSI PELANGGAN MASIH KOSONG.

SARI             : (Masih terlihat gelisah dan khawatir. Berjalan ke sana kemari) Mana bang Usman ini! Semaleman nggak pulang-pulang. Dipesenin beli martabak sampe ganti hari belom keliatan juga bentuknya. (jengkel)

LELAH BERBICARA SENDIRI, SARI BERDIALOG DENGAN PENONTON.

SARI             : Hei penonton! Ada yang liat laki saya nggak? (Maju ke pinggir panggung) Gitulah Usman. Suami saya yang gak jelas itu. Entah apa yang dia kerjain sampe gak pulang ke rumah. Entah mati di jalan, entah kecantol perempuan… Bertahun-tahun dia gak kerja. Saya banting tulang hidupi diri sendiri dan anak saya satu-satunya. Punya anak satu juga bandelnya ampun-ampun! Kayak sekarang ini, jam segini belum juga berangkat sekolah. Entar tau-tau saya dipanggil guru karena dia keseringan terlambat dan bolos sekolah. Belum pernahlah dia itu bantuin saya nyiapin dagangan kayak gini.

                         Makanya kecantikan saya jadi luntur gini…

                         Eee… Jangan salah ya! Saya ini dulunya kembang desa. Banyak yang kecantol sama saya. Saya aja yang salah pilih. Kalo dulu saya gak pilih Usman, saya sekarang udah sejahtera sama bang Kodir.

KALIMATNYA MENDADAK TERPOTONG KARENA TIBA-TIBA  IA DIKEJUTKAN OLEH KEHADIRAN AJO YANG SEDARI TADI MEMANGGIL-MANGGIL SARI HENDAK MEMESAN UDUK.

AJO              : Mbak! Mbak! (sambil menyomot gorengan)
                         Nah. Jualan nggak dia ini.
                         Woi!
SARI             : Eh. Ada orang. (kembali ke meja)
                         Makan sini? Bungkus?
AJO              : Makan sini dong.
SARI             : (menyajikan makanan)
                         Bang, liat suami saya gak?
AJO              : Coba ambilin tahu bunting itu dulu, Sar.
SARI             : Semaleman Usman gak pulang. Ke mana dia, bang?
AJO              : Coba bawa ke sini kerupuk itu.
SARI             : Coba kamu jawab dulu pertanyaan saya itu, bang. Kamu kan kawan akrabnya sih.
AJO              : Saya ini gak liat suami kamu itu. Ga tau juga Usman di mana, Sari. (sambil mengambil sendiri tahu bunting dan kerupuk)
SARI             : Hmm… Nggak percaya saya.
AJO              : Ya sudahlah kalo gak percaya. Ambilin minum dulu sih. Seret tauk.
SARI             : He he he (nyengir sambil mengambilkan teko)

SARI TERKEJUT DENGAN KEDATANGAN USMAN DAN MELETAKKAN LAGI TEKO ITU PADA TEMPATNYA.

AJO              : NAH (mengambil sendiri teko minum)
SARI             : Ya Tuhanku dan Allahku. Masih idup. Bang Usman! Dari mana aja kamu? Semaleman gak pulang-pulang. Mana martabak pesenan Sari, bang?!
USMAN      : Ga ada.
SARI             : Terus kamu ga pulang itu nyasar ke mana, bang? Balikin duit saya!
                         (terkejut dan melotot melihat Usman mengeluarkan rokok) Aih! Ngerokok kamu, bang! Saya minta beliin martabak gak kamu beliin. Malah kamu beliin rokok, bang! Tega kamu itu ya sama saya.
USMAN      : Ya udah sih. Nanti saya ganti dua puluh ribu kamu itu.
SARI             : POKOKNYA YA, BANG. KAMU HARUS GANTI SEMUA DUIT-DUIT SAYA ITU. SELAMA INI KAMU – 
AJO              : Astaghfirullohhaladzim…
SAR+US      : Kenapa???
AJO              : Ini berita ini (sambil menunjuk koran yang dibacanya)
SAR+US      : Kenapa?
AJO              : Nggak kebaca. (Nyengir)
SAR+US      : (menggaruk kepala)
USMAN      : Makanya kamu sekolah, biar bisa baca tulis… untunglah kamu itu masih bisa bedain duit.
AJO              : Aih.. sok nyeramahin saya kamu itu, Us. Ke mana kamu semalem. Liat nah, istri kamu ini ngeromet aja dari tadi.
SARI             : Makanya dong, bang. Ajaklah laki saya ini kerja bareng kamu. Biar saya ini ga ngomel-ngomel aja kerjaannya.
AJO              : Bukannya saya ini gak mau ngajak Usman kerja bareng saya. Coba kamu Tanya dia itu, mau apa enggak dia kerja sama saya.
USMAN      : Saya bukannya gak mau, tapi kamu tau sendiri saya ga cocok sama bos kamu yang songong itu.
AJO              : Karena kamu masih cemburu sama si Kodir itu kan?! (tertawa keras)
USMAN      : Nah Ajo! Kurang ajar. Sudah pulanglah kamu! Makin kesal saya.
AJO              : Ya sudahlah. Sari, Usman, saya pulang dulu ya.
SARI             : Woi. Ngutang lagi kamu ini, bang?
AJO              : (sambil berlalu) Ntar saya rapel sama yang kemaren.

HENING

MELI            : SARIIIII! (Teriak) udah lewat tiga hari ya  saya nagihnya. Cepetlah kamu bayar angsuran panci itu. Mau berapa lama lagi kamu itu tarsok tarsok. Entar besok entar besok, entar bosok lama-lama. Bayar!
SARI             : Duh, Mel… maaf. Kalo tiga hari lagi gimana, Mel? Duit saya belum ngumpul, Mel. Ini masakan saya juga belum laris. Saya juga kan perlu kasih uang jajannya si Nurma. Plis….
MELI            : Plas plis plas plis.. (memukul meja) Beneran tiga hari lagi ya! Awas kalo enggak ya! (out)
SARI             : Thanks God… (mengusap wajah bersyukur)
MELI            : (mendadak kembali lagi) Eh, Sari. Kayaknya enak lontong sayur kamu ini. Bungkusin dua ya. Buat saya satu, buat mantu saya satu. Gorengannya kasihlah tiga rebu.
SARI             : (kaget) O. oke, Mel.  (lalu memberikan ke Meli)
MELI            : Makasih ya, Sari. (hendak berlalu)
SARI             : Ini ga dibayar, Mel? (wajah datar memelas)
MELI            : Aih. Dipotong angsuran panci aja ya. Makasih. (berlalu dengan cuek)

SARI MEMELUK CENTONG NASI. MERATAPI KEPEDIHAN HATINYA PAGI ITU. LALU KEMBALI MENGOMEL KEPADA USMAN.

SARI             : Gini ni, bang. Ga sedih apa kamu itu ngeliat saya kesulitan kayak gini? Hah? Apa justru kamu seneng? Saya ini malu, bang… saya ini juga kepengen beli lipstick kayak istri-istri orang itu. Menor-menor… Cantik-cantik, bang.
USMAN      : Lagian ngapain juga kamu itu pake beli  panci segala sih.
SARI             : Kalo bukan karena kamu itu kasar, kamu banting-banting barang rumah ini kalo marah, saya ga akan ngutang-ngutang panci itu, bang.
                         (nada tinggi) Kamu ngeluyur seenak jidat kamu. Apa kamu pernah mikir gimana caranya saya bayar SPP Nurma? Di mana perasaan kamu itu bang! Kalo dulu kamu gak maksa saya untuk nikah sama kamu, saya udah jadi istri pengusaha meubel!
USMAN      : Ga usah kamu ungkit-ungkit masa lalu, Sari!
SARI             : Bertahun-tahun saya ini menahan sakit hati. Hidup saya semakin menderita.
USMAN      : Jadi kamu ini nyesel nikah sama saya?!
SARI             :  Bang, kalopun saya bilang nyesel, kamu mau apa? Harusnya dengan liat keadaan saya kamu udah paham, bang. Saya ga pernah bahagia. Toh selama ini juga kamu main perempuan kan di belakang saya?!
USMAN      : SARI!!! (hendak menampar) (membanting kursi) (masuk ke dalam rumah)
SARI             : (merapikan meja sambil menangis)

NURMA MUNCUL BERSERAGAM SEKOLAH

NURMA     : (menyodorkan tangan) he he he
SARI             : (mengelus dada) Ya Tuhan ampunilah aku. Gak ada hati juga kamu ya. Emaknya lagi sedih itu dielus-elus kek. Dicium kek. Dipeluk kek. Malah minta duit. Tega ya, kamu. Kamu sama bapak kamu itu sama aja!
NURMA     : Ya bedalah, mak. Dia kan bukan bapak saya.
SARI             : NURMA! (hendak menampar)
NURMA     : Tampar saya, mak! Dia sama emak sama aja! Gak ada yang peduli sama saya. Saya tanya. Kapan terakhir emak Tanya saya ada PR enggak. Uang jajan saya kurang enggak. Bapak yang bukan bapak kandung saya pun sama. Gak pernah juga mau tau keberadaan saya sebagai anak di rumah ini. Dia itu bisanya Cuma main perempuan di kampung sebelah!
USMAN      : (tiba-tiba datang dari dalam rumah) NURMA! (hendak menampar)

SARI DAN USMAN FREEZE

MONOLOG NURMA       :

Ya. Saya berani bersumpah, saya tidak pernah bohong. Bandel-bandel gini, saya anak yang jujur. Bahkan saya gak berani ngambil duit di laci emak. Saya melihat dengan mata kepala saya. Usman, bapak tiri saya itu bermain perempuan di kampung sebelah. Semalem emak ngasih dua puluh ribu untuk beli martabak. Dia memang beli martabak, tapi buat perempuan di kampong sebelah itu.
Saya berani bersumpah. Saya gak bohong. Saya tau emak gak pernah sayang sama bapak. Om Ajo yang kasih tau saya. Dulunya, emak berpacaran sama Om Kodir. Tapi Usman juga begitu mencintai emak sampe dia tega rebut emak dari Om Kodir. Bahkan belakangan saya tau, saya ini anak kandung Om Kodir. Saya bisa percaya itu. Om Kodirlah yang selalu baik sama saya. Selalu kasih saya uang jajan. Dan matanya sipit seperti mata saya. Matanya masih menyimpan cinta buat emak. Tapi entah kenapa saya harus berhadapan dengan hidup yang seperti ini.

BERJALAN PERLAHAN DI PANGGUNG

SAYA JUGA INGIN SEPERTI MATAHARI YANG SELALU BERSINAR DAN DINANTI. TAPI, MAK… NURMA CUMA EMBUN DI PUCUK-PUCUK ASOKA. YANG MUNCUL DI TIAP PAGI, TAPI HILANG DITERPA MENTARI…

Rabu, 16 Januari 2019

Resensi


Judul               : Bilangan Fu
Penulis            : Ayu Utami
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit     : 2018
Cetakan          : Kedua
Tebal               : 562 hlm
No. Edisi          : 978-602-424-397-5

“Ápa yang tak selesai kau mengerti di sini, tak boleh kau tanyakan padaku di luar.”
__Suhubudi, Bilangan Fu

Bermula pada pengenalan tokoh Yuda, seorang pemanjat tebing yang memiliki sikap skeptis dan suka bertaruh. Pertemuannya yang tak sengaja dengan Parang Jati, mahasiswa geologi ITB semester akhir yang berjari 12, saat sedang mengambil peralatan pemanjatan, menjadi permulaan kisah yang padat. Mereka dipertemukan di rumah salah satu teman Yuda yang telah "pensiun" dari pemanjatan karena menikah. Hubungan di antara keduanya mewujud sebuah persahabatan, bahkan Yuda tak keberatan berbagi kekasihnya, Marja. Mereka bertiga terlibat dalam segitiga cinta istimewa.

Sandi Yuda, rasional, modern, tidak percaya takhayul, membenci televisi dan kota. Dalam kisah, Yuda banyak mengalami kejadian-kejadian ganjil, tepatnya ketika ia dan teman-temannya melakukan pemanjatan di Watugunung. Kisahnya bermula dari penemuannya akan sebuah rumus yang memunculkan sebuah bilangan gaib. Bilangan antara nol dan satu. Bilangan Fu, yang menyesaki tokoh utama tersebut. Yuda pun mimpi didatangi penunggu gunung itu yang berkaki serigala, memiliki payudara, dan berkelamin ganda. Makhluk itulah yang ia sebut sebagai Sebul. Kelak dalam kisah, Sebul inilah yang membisikkan bilangan fu. Bilangan yang mirip dengan obat nyamuk bakar. Sebailknya, Parang Jati, yang sangat menghargai alam. Ia memandang manusia modern sudah begitu congkak dan tidak menghargai alam. Kelak dalam kisah, ia memperkenalkan kepada Yuda sebuah pamanjatan suci. Ialah yang secara perlahan menyingkap misteri dan mengubah cara pandang Yuda.

Sepuluh tahun Bilangan Fu malah membuat novel ini semakin tangguh dan kritis. Dibandingkan dengan Saman dan Larung, Bilangan Fu jauh lebih berat dalam segi ide cerita, kritikannya, serta bahasa. Bilangan Fu seperti kitab. Ayu melakukan lumayan banyak penambahan kisah serta penajaman karakter tertentu. Termasuk yang dilakukan Ayu pada bab Parang Jati. Jika dalam cetakan pertama, pembaca dipaksa untuk lebih dalam memahami Babad Tanah Jawi dan cerita Jawa lain yang membuntutinya, cetakan kedua ini, melalui panjabaran kritis Parang Jati, ia memperkenankan hubungan antara cerita rakyat, wuku, dan inses. Kedalaman pemikiran Parang Jati bukan hanya menyodok hulu batin Yuda, tetapi juga kita sebagai pembaca (bahkan saya berani bertaruh untuk hal ini).

Beberapa bab selanjutnya dirombak sedemikian berbeda, namun tetap berwibawa. Sajenan diawali dengan penambahan kisah,  Bunyi Hu menyajikan perubahan pola pikir Yuda. Suhubudi mengupas lebih lanjut tentang lambang mirip obat nyamuk bakar itu: Bilangan Fu. Bilangan Fu adalah Hu. Yaitu bilangan sunyi. (Penjabaran yang dalam oleh Suhubudi saya jamin akan membuat kepalamu penuh). Antara Nol dan Satu rupanya menjelma kisah dengan judul Kritik Hu Atas Monoteisme. Keduanya adalah sama, yang bersumber dari catatan Parang Jati. Namun sangat disayangkan Ayu tak memunculkan lagi sejarah bilangan nol yang ada pada cetakan pertama. Quo Vadis dan Via Dolorosa sungguh menarik. Cara pandang Marja dan karakternya yang selalu berhasil menenangkan Yuda saya yakini mampu meluruskan kerumitan naskah novel ini. Dan tak salah. Ayu benar-benar menggunakan bahasa dan kebendaan dari naskah pertama menjadi sesuai dengan kenyataan zaman sekarang dengan adanya Indomart, tolak angin, dan lainnya. Spiritualisme Kritis menggantikan Neo Kejawan dengan isi cerita yang murni mengisahkan proses pemanjatan suci Parang Jati dan Yuda. Di puncak pemanjatan, Yuda dibuat tercengang dengan segumpal sedimen bertatah cangkang keong laut sekepalan, labirin, melingkar-lingkar. Begitu pun dengan bab-bab lain yang pada bagian tertentu mengalami penggemukan cerita maupun pengerucutan cerita atau bahkan penyederhanaan cerita. Pembaca pasti terpukau dengan apa yang telah dilakukan Ayu pada novelnya ini.

Cangkang keong laut sekepalan yang dari awal kisah novel ini terus disebut-sebut, menjadi gambar  pada sampul novel ini didesain menjadi lebih keren dan menarik. Cangkang keong itu menjadi menyerupai lambang bilangan fu dalam novel ini atau (sebaliknya saja) lambang bilangan bilangan fu yang menyerupai cangkang keong laut sekepalan itu. Hal lainnya yang cukup kecil, tetapi sebenarnya mampu menambah wawasan pembaca, yaitu tidak adanya tulisan yang menerangkan bahwa sampul buku menggunakan kertas buatan perusahaan yang menerima sertifikat dari organisasi pelestari hutan internasional yang diletakkan pada halaman identitas buku, seperti yang ada pada cetakan pertamanya. Seharusnya hal ini menjadi pengetahuan pembaca bahwa percetakan juga peduli terhadap kelestarian alam. Selain itu, ada yang lebih bisa dihilangkan lagi oleh Ayu, yaitu tentang kliping-kliping berita yang dikumpulkan Yuda. Tak semua kliping tersebut menarik untuk dicermati. Beberapa membuat malas membacanya dan bahkan mengacaukan pokok pikiran karena isi novel sudah cukup berat dan kompleks.

Revisi Bilangan Fu ini menjadi karya yang sungguh luar biasa bagi pembaca sastra. Banyak pesan dan makna yang kuat telah disampaikan Ayu melalui hal-hal kritis. Fu maupun Hu itu sendiri menjadi penguat antara yang modern dan spiritual. Ayu telah secara cerdas memadukan sejarah, mistik, budaya, agama, sains, dan filosofi. Ayu sekaligus memberikan cara pandang yang sebetulnya perlu pada zaman ini: sikap spiritual, namun kritis.


Selasa, 01 Januari 2019

PUISI

MIMPI

Seorang prajurit

Menodong pistol di kepalanya
Mulut komat-kamit
Mengunyah mantra:
                                    Hum ham hum
                                    Humlahumhum
                                    Setangkai mawar
                                    Berjajar di meja
                                    Tangkai digenggam
                                    Duri menancap dada
                                    Tangan bergetar
                                    Bumi lindu
                                    Humlahumhum
                                    Malam berkarat
                                    Sebentar siang
                                    Kuntum merekah
                                    Kuning putih ungu
                                    Dunia: merah
                                    Prajurit murka
                                    Melontar peluru
                                    Menghunus tombak
                                    Pada musuh di barat
                                    Gelas-gelas pecah
                                    Puah!
                                    Genderang perang
                                    Humlahumhum

Seorang anak bangkit

Lantas berdiri
Memadamkan mimpi 
Lelap lagi
Bermimpi lagi
Dalam igaunya:           "Akulah presidenmu
                                  Kubangun kota-kota
                                  Dalam kepalamu!"


Tanjungkarang, 2017

FLASH FICTION

Bocah superhero Imbas seringnya menonton film-film superhero, anakku yang masih TK terus-terusan minta dibelikan ini itu yang berbau superhe...