Senin, 13 Oktober 2025

FLASH FICTION

Bocah superhero

Imbas seringnya menonton film-film superhero, anakku yang masih TK terus-terusan minta dibelikan ini itu yang berbau superhero. Baru tiga hari lalu, ia kubelikan kaos iron man yang bisa menyala dalam gelap. Pagi tadi minta dibelikan lagi miniatur musuhnya batman. Mau ditaruh di kamar mandi katanya. Kalau dia kesal, akan dikencinginya miniatur itu. 

Sekarang sudah lewat tengah malam. Ia mengigau. Minta dibelikan celana dalam superman untuk bapak. "Bapak itu nggak pernah pake celana dalam kalau di rumah", ocehnya dalam tidur.


                                                                                                                                                                              


Narendra

Sekelompok bocah kerap bermain di samping rumahku. Ada bekas pendopo di sana. Bangunannya sudah runtuh dan ditumbuhi lumut. Bocah-bocah itu sangat senang berkumpul dan bermain di sana. Terkadang tampak mereka bermain gundu, petak umpet, perang-perangan, atau hanya berkumpul dan berkelakar saja, bahkan berkumpul hanya untuk merencanakan pencurian kelengkeng di kebun Pak Solihin. Sekelompok bocah itu punya pemimpin. Bocah ini terlalu menonjol sehingga aku menyebutnya begitu. 

Suatu ketika, salah satu bocah sangat menyukai anak Pak Solihin yang juga seusia dengan mereka, tapi sangat jarang keluar rumah. Namanya Asti. Pak Solihin sendiri terkenal galak dan hal inilah yang membuat Asti tak pernah bermain bersama mereka. Berulang kali bocah itu berupaya agar Asti bisa ikut bermain, tapi tak pernah berhasil. Karena itulah ia meminta pertolongan si pemimpin andal. Dibukalah pertemuan singkat yang penuh dengan siasat. 

Secara ajaib, keesokan harinya, Asti sudah bermain bersama dengan bocah-bocah itu. Mereka bermain raja dan ratu. Tentu saja Asti menjadi ratunya. Namun yang menjadi raja adalah si bocah pemimpin. Bocah yang awalnya sangat menyukai Asti dan meminta tolong kepada si bocah pemimpin itu hanya bisa menatap nanar pada keadaan di depan matanya. Ia melupakan satu hal. Teman yang dimintai tolong adalah pemimpin di kelompok mereka. Selain pandai memimpin, bocah itu juga berkuasa. Karena itulah, ia bernama Narendra. Konon katanya, ia dilahirkan 2 bulan sebelum waktunya. Ibunya pernah didatangi si jabang bayi dalam mimpi yang memerintah agar sang ibu segera melahirkannya. Saat itu juga, sang ibu berteriak-teriak kesakitan semalaman dan lahirlah Narendra.



Sialan

Ini bukan cerita tentang kesialan. Sungguh. Tapi simak saja baik-baik. Di suatu malam yang indah -- kusebut indah karena saat itu bulan sedang penuh-penuhnya -- aku mengencani kekasihku, Maya. Bulan membulat dengan sempurna. Sesempurna rencanaku untuk membawanya menonton film. Dan ini akan menjadi kencan pertama paling membahagiakan untukku. 

Maya mengenakan terusan krem yang memperlihatkan bahunya. Kelak pada bahunyalah aku menyandarkan kepalaku yang terkadang berat karena beragam urusan kantor. Ia bersepatu jinjit, menenteng tas mini yang hanya cukup dimasuki ponsel dan dompet. 

Filmnya sangat romantis. Sedikit dramatis, tapi aku tak begitu paham akhir ceritanya. Aku hanya bisa fokus memperhatikan paras cantik kekasihku dibalut senyum dan tawa yang ceria. Sadar bahwa aku terus memperhatikannya, dia spontan mencubitku. Aku pun spontan menggenggam tangannya. Ia tersipu. Dan kucium bahunya. Namun belum sempat Maya bereaksi, seseorang menumpahkan soda di wajahku. Kedua mataku membelalak. Tampak ibuku memegang gayung. Ternyata aku hanya mimpi.



Langit yang Terlupakan

Senja memang tak pernah gagal menutup ingar-bingar hari. Ia mampu menciptakan warna-warna yang bijaksana. Meski tampak meredup, tapi tetap tegas. Matahari yang hampir terbenam itu dimandikan warna jingga kemerahan bagai mata seseorang yang tajam menyeruak hati. Sama seperti tajamnya mata Langit. 

Ialah Langit. Pemuda yang baru kemarin sore memutuskan untuk berpisah dengan sang kekasih. Sore ini, di pinggiran pantai, dia tampak melukis senja dengan warna jingga. Dipandanginya langit lewat matanya yang tajam. Digoreskannya gurat-gurat merah pada warna jingganya, merupa semburat api: menggambarkan panasnya hati. 

Dipandanginya lagi langit lewat matanya yang tajam. Digoreskannya lagi warna jingga kemerahan pada sebentuk matahari yang kian terbenam. Tiba-tiba ia berhenti. Diletakkannya kuas dari tangannya lalu kembali memandangi senja. 10 menit kemudian, ia mencampurkan warna biru dan sian. Diambilnya kuas lukis yang lebih lebar dan mulai menghapus warna senja di kanvasnya dengan campuran biru dan sian tadi. Ia mengganti senja dengan langit biru yang agung. Langit pagi yang telah lama dilupakan orang, yang mencipta ingar-bingar hari.



Luka Sunyi

Ia menampung seluruh cacian, hinaan, dan perlakuan kasar dalam kepalanya. Bingung mau diceritakan pada siapa beragam kesesakan yang menumpuk di dadanya. Hari sudah terlalu larut juga untuk menghubungi seorang teman. Malam benar-benar berhasil melucuti akal dan kata-kata.

Tangannya sempat tremor hebat. Dipukulinya tangan, dada, dan kepalanya sendiri sampai ia merasa lapar sekarang. Diperiksanya isi kulkas. Diambilnya telur, daun bawang, dan 5 biji cabai. Ia mulai mengiris semua bumbu dengan seluruh emosi yang tersisa hingga tak disadarinya darah telah mengalir dari pergelangan tangannya. 

Pendarahan masif. Hipotensi. Ia mulai kehilangan kesadaran. Tubuhnya ambruk. Terdengar lamat-lamat dering panggilan masuk ke handphonenya: "Mama".



Veda Si Paling Penyayang

Putriku bernama Veda, 4 tahun. Ada sumber yang mengartikan Veda itu dapat diandalkan dan bertanggung jawab. Hidupnya terisi keceriaan sesuai usianya. Namun, seperti namanya, bocah itu bisa diandalkan. 

Seperti saat ini, aku sedang tidak bergairah untuk mengurusi ini itu urusan dapur. Rupanya ia memperhatikanku. "Mama capek ya? Mama diem aja dari tadi. Aku bantu potongin kangkung ya." Pernah suatu kali aku menjatuhkan sendok makanku. Veda bergegas mengambilnya, meletakkannya di tempat cuci piring, lalu mengambilkan sendok yang bersih. Veda sangat menyayangiku. 

Suatu kali kuajak Vedaku ke pasar malam dekat rumah. Ada boneka lolita dijual di salah satu stand. Aku tak begitu suka boneka itu karena matanya. Tapi Veda sangat menginginkannya, maka kubelikan boneka itu. Sejak saat itu, perhatiannya banyak diberikan kepada boneka itu. 

Veda tak pernah membantuku lagi di dapur, tak menghiraukan jariku yang teriris pisau, tak menegurku lagi ketika aku murung. Sampai suatu hari aku jatuh sakit. Tak kulihat Veda dari pagi. Kuhampirinya ke kamar dan menanyakan kenapa dia tidak menemaniku. Dia menjawab dengan kesal, "Anakku sakit, Mama!". Kulihat boneka itu menoleh ke arahku dan menyeringai mengejekku.



Teringat Nenek

Ia terbangun. Keringat dingin berkumpul di kening, leher, dan tengkuknya. Sebelumnya, ia demam tinggi. Ia bergeming dan merasa sedikit lega karena demamnya hilang saat itu juga. Namun ia harus bangun. Bajunya telah basah oleh keringat dingin dan harus bergegas ke belakang mengganti bajunya. 

Demamnya hilang, tapi ada rasa ngilu di dadanya. Ada sakit yang menjalar-jalar dari ulu hati ke dada kirinya. Diperiksanya lagi luka yang menganga di lambung, hati, dan kepalanya. Terbayang-bayang nenek yang biasanya menyulam luka-lukanya. 

Sakit di dadanya makin terasa. Ia putuskan kembali ke kamar. Belum sempat ia naik ke ranjang, matanya dikejutkan oleh hal yang tak bisa ia percaya. Ia melihat tubuhnya tengah terbaring. Tertidur dengan tenangnya.



Amin Paling Serius

Malam Minggu, kami berkumpul dalam sebuah kegiatan remaja di aula dasar gereja. Seorang pastur mendampingi kami malam itu. Saat itu ia berkesempatan memberikan pidato singkat sebagai upaya pembimbingan gereja kepada kami, para remaja gereja. 

Malam itu hujan lumayan lebat, suara pastur berselang seling dengan suara hujan. Aku dan teman-temanku berusaha keras menangkap pidato sang pastur, termasuk si Amin. Ia celingak-celinguk -- garuk-garuk kepala -- bingung mau mendengar suara pastur atau suara hujan. 

Sayup-sayup kalimat pastur yang bersemangat itu mulai terdengar, "Orang muda laki-laki di sini pasti jadi Romo! Amin??!!"

"AMIIINNN!!!", jawab si Amin seorang diri dengan lantang dan polosnya. Sontak kami semua bertepuk tangan untuk si Amin. Ia celingak-celinguk lagi sambil menggaruk kepala. Aku terkekeh dalam hati.




Sobekan Koran

Aku seorang guru sekolah dasar. Usiaku 29 tahun. Aku tengah mengandung. Tujuh bulan sudah aku dan calon jabang bayi ini menunggu suamiku. Ia masih buron. 

Suamiku pengedar sabu. Sebelum kepergiannya, ia mencium keningku lalu berkata lirih, "300 hari lagi aku akan menjemputmu. Makanlah yang banyak dan berbahagialah". Ia pergi tanpa membawa apapun: sepeser uang, pun pakaian. 04.15 usai ayam kami berkokok, ia bergegas. Aku memandangi punggungnya yang perlahan tenggelam dalam remang lampu gang. Sesaat kemudian keheningan memudar. Lamat-lamat terdengar irama jam dinding dan degupan jantungku sendiri. Ngilu di dada dan dingin subuh hari mulai terasa. Pipiku yang dibasahi air mata sudah kering sendiri. Aku harus bergegas untuk membuat sarapan, mandi, lalu berangkat ke sekolah, berjumpa murid-muridku yang lucu. 

Hmm... sudah dulu ya. Itu cuma cuplikan cerita pendek dari sobekan koran yang kupungut di stasiun tadi sore. Lanjutan ceritanya boleh kau karang sendiri. Aku harus istirahat sekarang, besok pagi aku harus memikirkan ke mana lagi aku harus melarikan diri. Yah.. Beginilah nasib seorang buronan polisi. 



Sepeda Jengki Nenek

Tampaknya suasana hatinya lagi hepi. Ia bernyanyi tanpa ragu meski liriknya salah. Disapanya orang-orang yang ia jumpai di jalanan hingga pohon-pohon, juga portal jalan. 

Arik, pemuda tanggung, yang belum lama lulus SMA. Baru saja diterima kerja di salah satu bar favoritnya karena berhasil meracik koktail sekaligus pamer keahlian flair dan juggling botol minuman. 

Lanjut lagi ya, pokoknya mulutnya terasa ringan, semuanya ringan. Saking ringannya, tak sadar kendaraan yang dibawanya melaju secepat kilat. Alhasil.. brakk buk bleg bleg breggkkkk! 

Pukul 06.40. Matanya perlahan terbuka dan dibacanya "Puskesmas Rawat Inap Sukadamai melayani Anda setulus hati". Arik terkesiap. Ia ambil posisi duduk, namun kakinya sangat sulit digerakkan. Ia mulai merasakan perih di bibir, pelipis, hidung, siku, dan pantatnya. Posisinya yang agak miring membuatnya menatap sosok anak laki-laki yang memperhatikannya dengan tatapan menunggu. Belum sempat bertanya, suster jaga sudah masuk dan menanyakan apa yang dirasakannya saat itu. Giliran suster jaga tersebut bertanya kepada si anak laki-laki "Kamu siapanya kakak ini, dek, dari semalam nungguin di sini". Anak itu menjawab, "Sepeda jengki nenekku dibawa kabur kakak ini semalem, sus".

Arik terkesiap lagi. Ingatannya perlahan kembali. Ia ingat kalau semalam ia banyak minum setelah melihat kekasihnya kencan bersama lelaki lain di bar tempatnya bekerja. Kalau tidak salah, ia sempat mengacau dan dipecat hari itu juga. Ia kembali menatap si anak laki-laki. Karena sadar ia harus tanggung jawab, ia pura-pura pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FLASH FICTION

Bocah superhero Imbas seringnya menonton film-film superhero, anakku yang masih TK terus-terusan minta dibelikan ini itu yang berbau superhe...